Kamis, 13 Juni 2013

Telaga dan Garam



Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Suatu pagi, dia tiba-tiba didatangi seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya tampak lusuh dan sedih, seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang-buang waktu lagi, si pemuda itupun menceritakan semua masalahnya kepada Pak Tua. Setelah mendengarkan dengan seksama, Pak Tua yang bijak itu lalu mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya”, ujar Pak tua itu.

“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu. Pak Tua tersenyum. Lalu dia mengajak tamunya berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua kemudian menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk sehingga tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”

“Segar,” sahut si pemuda itu. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” tanya Pak Tua lagi. “Tidak,”  jawab si anak muda. Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda itu dan mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu”.

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat: “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Lalu keduanya beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan ’segenggam garam’, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar